Sabtu, 26 Juni 2010

SERBA SERBI KAWIN SIRRI

Oleh ; Muh Khosim
PP. Al Musyaffa’ Kampir Sudipayung Kendal

Pada dasarnya manusia adalah makhluk “sosial”, yang artinya manusia itu selalu saling membutuhkan satu sama yang lain di dalam pergaulan hidup dan bermasyarakat. Salah satu bentuk hidup bersama adalah berkeluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena perkawinan. Perkawinan dalam Islam merupakan fitrah manusia, agar seorang muslim dapat memikul tanggungjawabnya. Yang mana tanggungjawab tersebut tidaklah ringan. Bahkan hal ini merupakan sesuatu yang paling besar bagi seorang kepala rumah tangga, yaitu memberikan nafakah terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan.
Adapun kawin (nikah) jika dilihat menurut arti aslinya ialah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri. Sedang kata sirri sendiri berasal dari kata sirriyyun yang berarti secara rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, yang sudah memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan. Tetapi perkawinan tersebut tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah atau tanpa melaporkannya ke KUA atau ke Kantor Catatan Sipil.
Hal seperti di atas telah diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang dijabarkan dalam PP Nomor 10/1983, dan disempurnakan lagi dengan PP Nomor 45/1990. Aturan ini, sayangnya, hanya berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan penegasan keharusan beristri satu (monogami). Oleh sebab itu pemerintah melarang nikah sirri kepada pejabat pemerintahan karena tidak mendokumentasikanya di catatan sipil. Dalam Hal ini pemerintah juga termasuk tujuan untuk mengatasi terjadi tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Biasanya nikah sirri dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya atau meramaikannya. Ada juga yang melakukannya demi menjaga tidak terjadi kecelakaan atau terjerumus hal-hal yang dilarang agama. Dan sah tidaknya nikah sirri secara agama, tergantung kepada sejauh mana syarat-syarat nikah terpenuhi, yaitu adanya wali, minimal dua saksi, adanya mahar, dan ijab qabul.
Walaupun pernikahan sirri terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi, mereka (suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan ini dari telinga masyarakat atau sejumlah orang. Dalam hal ini, sering kali pihak mempelai lelakilah yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang terjadi.
Dalam masalah ini, para ulama Rahimahullah berselisih pendapat. Jumhur ulama Rahimahullah memandang pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya dilarang. Hukumnya sah, resmi menurut agama, karena sudah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat disertai keberadaan dua saksi sehingga unsur "kerahasiaannya" hilang. Sebab, suatu perkara yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah bukan rahasia lagi.
Adapun sisi pelarangannya, disebabkan adanya perintah Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan walimah dan unsur yang berpotensi mengundang keragu-raguan dan tuduhan tidak benar (seperti kumpul kebo, umpamanya) pada pihak laki-laki dan perempuan itu.
Sedangkan menurut kalangan ulama Malikiyyah, mereka menilai pernikahan yang seperti ini adalah batil. Karena yang dimaksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah pemberitahuan kepada semua orang, dan ini termasuk syarat sah pernikahan.
Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, lantaran syarat-syarat dan rukun-rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak diberitahukan kepada khalayak. Sebab kehadiran wali dan dua saksi telah merubah sifat kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak yang mengetahui, maka semakin afdhal. Oleh karena itu, dimakruhkan merahasiakan pernikahan supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan dan tuduhan tidak sedap, ataupun persangkaan-persangkaan yang buruk
Namun walaupun telah di atur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang dijabarkan dalam PP Nomor 10/1983, dan disempurnakan lagi dengan PP Nomor 45/1990. Nikah sirri masih banyak terjadi di wilayah Negara Indonesia. Seperti yang terjadi di daerah pegunungan yang mana para wanitanya kurang berpendidikan, sehingga nikah sirri banyak terjadi. Yang kemungkinan disebabkan karena adanya beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tersebut, diataranya adalah :
1. Biaya yang murah dan prosedur yang mudah
2. Dorongan ingin berpoligami
3. Motivasi mencegah atau menghindari adanya perbuatan zina
Dan bukan hal yang mustahil, nikah sirri bisa juga terjadi dipekotaan dan di kota-kota besar. Bahkan bisa dibilang paling banyak. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari menilai praktik kawin sirri sekarang ini tidak lebih dari upaya sengaja untuk melegalisasi perselingkuhan dan poligami. Di Jakarta, Bogor, dan kota-kota lain, ditemukan hotel-hotel yang melakukan komersialisasi dan komodifikasi kawin sirri. Oleh para lelaki hidung belang yang diperbudak nafsu. Dan kawin sirri adalah bentuk baru dari "prostitusi religius" yaitu suatu pemahaman terhadap undang-undang perkawinan (UUP) No. 1/1974 yang tidak komprehensif. Kemungkinan juga nikah sirri tersebut disebabkan adanya beberapa faktor diantaranya adalah :
1. Laki-laki beruang dan pejabat
2. Laki-laki Hipersex
3. Perempuan materialistis
4. Sensasi dan pamor mereka bisa hilang kalau dengan nikah sah.
Disamping itu juga nikah sirri terjadi disebabkan karena alasan istri tidak mengijinkan untuk kawin lagi.
Walaupun akad nikah yang seperti itu telah sah menurut agama perlu ditambah lagi adanya syarat lain yaitu tidak ada niat dari salah satu pihak mempelai untuk mencelakakan salah satu pihak lainnya. Jika nikah sirri dilakukan dengan niat atau alasan yang tidak sah menurut agama, maka akibat atau dampak yang ditimbulkan bisa membawa bencana bagi perempuan dan anak-anaknya. Sebab perkawinan yang seperti ini tidak memiliki alat bukti yang otentik yaitu yang berupa akta nikah yang dikeluarkan secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah, sehingga perkawinan ini tidak memiliki kekuatan hukum.
Adapun akibat hukum dari perkawinan sirri bagi anak, istri, suami dan harta perkawinan atau harta bawaan antara lain :
a. Hak istri atau suami tidak dapat dilindungi oleh Undang-Undang karena tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karena itu apabila suami atau istri mengajukan gugatan ke pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum berupa akta nikah sehingga gugatan tidak dapat diterima.
b. Sewaktu-waktu suami bisa mentalak istrinya karena tanpa melalui Pengadilan Agama, dan istri tidak bisa menuntut karena tidak ada alat bukti otentik, serta tidak ada perlindungan hukum bagi istri.
c. Anak yang lahir dari perkawinan sirri tidak diakui sah karena perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum, anak yang lahir dari perkawinan sirri itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja atau keluarga ibu.
d. Pengaturan harta hanya didasarkan pada hukum Islam saja.
e. Anak yang lahir dari perkawinan sirri ini tidak dapat mengajukan pembuatan akta kelahiran.
Disamping itu juga nikah sirri bisa menimbulkan problem sosial di dalam keluarga. Sebab tidak sedikit sebagian orang yang mempunyai anggapan nikah seperti ini merupakan jalan yang lumayan singkat dan mudah untuk membentuk sebuah keluarga. Sehingga sebagian mereka mengambil jalan “enaknya saja” dalam pernikahan. kemudian yang terjadi adalah tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Masalah lain yang mungkin muncul, berkaitan dengan akte kelahiran yang keberadaannya cukup penting bila anak-anak akan sekolah. Sementara pihak berwenang tidak akan mengeluarkannya, jika kita mampu menunjukkan surat perkawinan yang resmi dikeluarkan negara. Demikianlah dalam konteks kewarganegaraan, setiap warga negara semestinya menaati peraturan atau ketentuan negara, selama tidak mengajak kepada maksiat, atau pertentangan kepada hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala..
Oleh karena itu bagi masyarakat umum, khususnya bagi orang tua yang mempunyai anak perempuan, sebaiknya dalam melakukan perkawinan dilakukan sesuai dengan peraturan Undang-Undang yang berlaku agar perkawinannya mempunyai kekuatan hukum dan tercatat di Kantor Urusan Agama setempat serta memiliki alat bukti yang otentik yaitu yang berupa akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.

1 komentar: